Sabtu, 24 Desember 2011

KEKURANGAN PANGAN

Sejak krisis ekonomi melanda dunia, khususnya Eropa tiga tahun lalu, dampaknya terhadap krisis pangan hingga kini terus terjadi. Krisis pangan yang melanda sejumlah negara, terutama di Afrika dan Asia, selain dipengaruhi perubahan iklim global yang berakibat kegagalan panen komoditi pangan utama dunia, juga karena faktor salah kebijakan dari pemerintah.
 
Data yang dirilis Lembaga Pangan dan Pertanian PBB (UNFAO) menunjukkan fakta yang cukup mengejutkan. Akibat krisis pangan, jumlah orang lapar saat ini mencapai 1,02 miliar. Jumlah ini naik 11 persen dari tahun lalu yang mencapai 915 juta orang. Penyumbang terbesarnya adalah anak-anak yang kelaparan akibat gizi buruk dan krisis pangan yang melanda negara mereka.

Lebih mengejutkan lagi, riset UNFAO ini juga menyebutkan, 65 persen kelaparan di dunia disumbang oleh tujuh negara, salah satunya Indonesia. Negara lain yaitu China, India, Kongo, Bangladesh, Pakistan, dan Ethiopia. Bahkan Global Hunger Index (GHI) memasukkan Indonesia dalam kategori ‘serius’.
 

Tentu saja fakta ini menjadi kado yang tidak membahagiakan di Hari Pangan Sedunia yang akan jatuh pada 16 Oktober mendatang. Tapi memang Hari Pangan Sedunia selama ini terkesan hanya sebatas ritual kesibukan para elit pengambil kebijakan saja. Peringatan ini kehilangan makna, bahkan menjadi ‘pepesan kosong’ yang tidak berdampak positif bagi masyarakat yang terjerat dalam lingkaran kemiskinan. Hari Pangan Sedunia menjadi tidak populer di tengah krisis pangan, kelaparan, dan kemiskinan yang masih terus melanda banyak negara dan tidak kunjung selesai. Di sisi lain, konflik sosial dan politik-militer di sejumlah negara menambah parah krisis pangan yang terjadi, seperti di Somalia.
 

Bagaimana dengan Negeri Kita?
Indonesia tidak ketinggalan untuk memperingati Hari Pangan. Untuk peringatan Hari Pangan Sedunia kali ini, pemerintah memusatkan peringatannya di salah satu daerah lumbung beras di wilayah timur, Gorontalo. Sebagai negara – yang konon – agraris, pangan memang menjadi konsentrasi utama kebijakan pemerintah Indonesia. Namun bukan keseriusan untuk menghidupkan pangan nasional, tapi keseriusan ‘menjamin’ ketersediaan pangan nasional melalui impor.
Isu pangan, kemiskinan dan kelaparan memang tidak pernah sunyi dari panggung kehidupan rakyat Indonesia. Meskipun Indonesia dianugerahi kekayaan alam yang melimpah dari tanah dan lautnya, tapi rakyat negeri ini ternyata masih belum bisa merasakan sepenuhnya anugerah itu. Bayang-bayang kemiskinan dan kelaparan masih menghantui jutaan orang Indonesia, terutama bagi mereka yang tinggal jauh dari pusat pemerintahan.
Data yang diungkapkan FAO sudah semestinya menjadi cambuk bagi para pengambil kebijakan pangan di Indonesia. Karena hampir setiap hari berbagai media menyuguhkan informasi yang mengiris batin kita, karena masih banyak orang Indonesia yang kelaparan, sebagian terpaksa memakan nasi aking, dan masih tingginya angka balita yang terserang busung lapar. Fenomena yang membenarkan paparan data-data di atas.
Rilis Biro Pusat Statistik (BPS) 2011 menyebutkan, angka kemiskinan di Indonesia mencapai lebih dari 31 juta orang. Jumlah ini diprediksi meningkat pada tahun 2012 menyusul meningkatnya inflasi akibat krisis keuangan dunia. Tingginya angka kemiskinan tentu berbanding lurus dengan besaran potensi orang-orang yang mengalami kelaparan akibat krisis pangan. Karena seseorang menderita kelaparan, tentu disebabkan karena faktor ketidakberdayaan ekonomi untuk membeli kons

Sayangnya, di tengah kondisi faktual demikian, kebijakan pemerintah Indonesia justru lebih mengandalkan impor untuk urusan pangan rakyatnya, bukan memberdayakan dan menghidupkan industri pangan dan pertanian nasional. Pemerintah rela menggelontorkan uang triliunan rupiah untuk mengimpor komoditi pangan utama masyarakat Indonesia, mulai dari cabai, garam, bawang, kacang-kacangan, jagung bahkan beras. Pemerintah menggelontorkan uang triliuan rupiah hanya untuk membeli komoditi pangan utama rakyat dari negara lain, bukan dari rakyatnya sendiri.
Mengatasi krisis dengan mengimpor berbagai kebutuhan pangan masyarakat bukanlah solusi tepat, dan hanya berdampak jangka pendek. Karena impor, hanya akan mematikan industri pangan dan pertanian dalam negeri.
BPS mencatat selama Januari-Juni 2011, impor komoditi pangan utama seperti beras, jagung, kedelai, biji gandum, tepung terigu, gula pasir, gula tebu, daging sapi, mentega, minyak goreng, susu, telur unggas, kelapa, kelapa sawit, lada, kopi, cengkeh, kakao, cabai kering, dan tembakau, totalnya mencapai 11,33 juta ton dengan nilai USD5,36 miliar atau setara dengan Rp45 triliun. Sungguh angka yang sangat fantastis.
Angka ini jelas menggambarkan tingkat ketergantungan Indonesia dalam impor pangan sangat tinggi. Untuk urusan beras saja misalnya, Indonesia disebut sebagai negara pengimpor terbesar kedua setelah Nigeria diikuti Filipina dan Arab Saudi.
Kebijakan impor pangan memang tidak sepenuhnya keliru. Setiap negara tentu melakukan kebijakan impor pangan untuk memenuhi sebagian kecil kebutuhan pangan rakyatnya. Bukan sebaliknya, memenuhi pasar nasional dengan komoditi pangan negara lain. Namun jika impor dilakukan dalam skala besar, dan tidak dibarengi dengan kebijakan yang berpihak pada industri pangan dan pertanian lokal, maka kebijakan impor bisa kita bilang salah.  Impor demikian tidak dapat mengentaskan problema kemiskinan dan kelaparan, kecuali sesaat menghapus dahaga lapar rakyatnya.
Seandainya anggaran triliuan rupiah itu dipergunakan untuk mendukung kebijakan strategis guna mendorong industri pertanian dan pangan nasional, bukan tidak mungkin percepatan pengentasan kemiskinan dapat terwujud. Jangan selalu menjadikan alam dan perubahan iklim menjadi kambing hitam krisis pangan dan kelaparan. Karena alam bergerak sesuai dengan fitrahnya.
Mau tidak mau kita sebagai manusia harus memenuhi kebutuhan pangan kita, sebab kalau kita tidak makan maka kita akan mati.

 

Rabu, 21 Desember 2011

TINGKAT PENDIDIKAN RENDAH

      Pendidikan di Indonesia masih menjadi masalah penting yang harus diperhatikan oleh pemerintah. Masih banyak anak-anak yang masih belum bisa bersekolah terlebih anak-anak yang bertempat tinggal di daerah pedalaman. Masih banyak di antara mereka yang membutuhkan ilmu yang seharusnya mereka dapatkan untuk masa depan nanti. Sebenarnya apa yang menjadi rendahnya tingkat pendidikan di Indonesia?
 
      Tingkat pendidikan pelajar di Indonesia terlihat masih rendah dan kalah jauh dibandingkan siswa negara lain (luar negeri). Kalau dilakukan uji kemampuan, dipastikan masih kalah jauh, , ibarat tingkat Dasar dan Diploma, kata Gubernur Sumatera Barat Gamawan Fauzi, saat meresmikan pencanangan Program Wajib Belajar Gratis 12 Tahun untuk Kabupaten Pesisir Selatan (Pessel) di GOR Zaini Zein, Painan, Rabu. Dia mengatakan, di Indonesia, secara umum masyarakat menghabiskan waktu mengisi ilmu (pendidikan) sekitar tujuh tahun, sedang di luar negeri mencapai 18,5 Tahun. “Artinya, mereka (luar negeri) sudah benar-benar menganggap pendidikan sebagai kebutuhan yang wajib dimiliki. Setidaknya, memberikan pemahaman kalau pendidikan minimal dimiliki idealnya sampai SLTA.
 
     Penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia adalah adanya ketimpangan pembangunan ekonomi, insfrastruktur dan sarana yang rusak di antara wilayah-wilayah Indonesia yang menghambat pertumbuhan ekonomi masyarakat, mengakibatkan masih bercokolnya jumlah warga miskin dan berpendidikan rendah. Ketimpangan pembangunan antar wilayah itu menyebabkan banyaknya kantong kemiskinan. Benar bagaimana orang miskin yang jumlahnya 70 juta orang yang ditanggung pemerintah Jamkesmas (Jaminan Kesehatan Masyarakat) melalui APBN itu bisa membutuhi kehidupan dengan kalori yang normatif dan menyekolahkan anak-anaknya untuk berpengetahuan setara. Kita akui tingkat pendidikan rata-rata penduduk Indonesia itu berdasarkan IPMI adalah baru sampai kelas I SMP.

      Penyebab lainnya adalah sosial ekonomi yang kurang akan membatasi kesempatan belajar sehingga menimbulkan kesulitan pada anak. Dalam buku lain juga dijel;askan bahwa Ekonomi keluarga erat hubungannya dengan prestasi belajar anak.  Anak yang sedang belajar selain harus terpenuhi kebutuhan pokok misalnya makan, minum, pakaian, perlindungan dan sebagainya dan juga membutuhkan fasilitas belajar. Sesungguhnya Indonesia mempunyai sumber daya manusia yang besar. Jumlah penduduk Indonesia saat ini sekitar 225 juta orang. Jumlah penduduk yang besar ini merupakan modal dasar dan pasar potensial bagi berbagai produk dan jasa. Oleh karena itu dunia internasional menjadikan Indonesia sebagai sasaran pasar mereka. Dengan pertumbuhan penduduk sekitar 1,36 persen per tahun, Indonesia mendapat tambahan 3,5 juta orang per tahun atau sejumlah penduduk Singapura.

      Penduduk yang banyak bisa menjadi modal yang berharga seandainya tingkat pendidikannya cukup tinggi dan kesehatan yang baik. Walaupun sudah lebih dari 90 persen anak-anak Indonesia mengenyam tingkat pendidikan dasar 6 tahun tapi yang bisa melanjutkan pendidikannya ke sekolah lanjutan pertama, sekolah menengah atas dan perguruan tinggi sangat sedikit. Hambatan utama yang dihadapi adalah kemiskinan. Walaupun pemerintah sudah memberlakukan wajib belajar 9 tahun dan membebaskan uang sekolah serta memberi berbagai kemudahan dan bea siswa, tapi kemiskinan membuat banyak keluarga memutuskan untuk tidak menyekolahkan anak-anaknya lebih lanjut. Hal ini dapat dipahami mengingat sekolah tidak hanya bayar uang sekolah tapi juga membeli seragam, biaya transpor, uang jajan dan pungutan sekolah.
 
        Dari kedua pendapat di atas dapat dipahami bahwa keadaan ekonomi keluarga sangat mempengaruhi pelaksanaan pendidikan anak dalam keluarga, artinya bila ekonomi keluarga sangat minim maka akan menuntut orang tuanya selalu berusaha mencari nafkah keluarga. Hal ini tidak jarang dilakukan oleh seorang ayah atau ibu. Bila kedua orang tua telah disibukkan dengan pekerjaannya sehari-hari untuk mencukupi kebutuhan mereka, maka anggota keluarganya (anak-anak mereka) akan kehilangan Pembina dan pembimbingnya, sehingga mereka tidak lagi terurus dan sebagainya akibatnya moral serta tingkah laku anak tak terarah. Oleh karena itu pemerintah harus lebih memperhatikan masyarakatnya agar anak-anak Indonesia dapat mengenyam pendidikan minimal SMA, supaya tingkat pendidikan di Indonesia meningkat dan dapat bersaing dengan negara lain.





Minggu, 18 Desember 2011

PENGAMEN DAN PENGEMIS JALANAN

      Pernahkah diantara kalian sering melihat para pengemis menengadahkan tangannya? Atau pengamen yang ngamen di jalanan baik itu laki perempuan tua  muda bahkan anak-anak di bawah umur ??.Pastinya  jawaban kalian pernah atau yang lebih tepatnya adalah sering. Kadang kita merasa kasihan atau iba tapi kadang kita merasa kesal dengan adanya mereka. Ada yang berpenampilan compang camping, ada yang sengaja membawa anaknya, bahkan ada yang sengaja berpenampilan seram hanya untuk menakut nakuti penumpang yang ada di dalam kendaraan kota atau angkot.
      
      Bisa dikatakan pengemis atau pengamen itu di jalanan memang sebuah fakta antara benar-benar miskin, pemalas atau penipu. Seorang ustad pernah menasihati saya. Katanya, pemberian yang ikhlas akan mendapatkan pahala sedekah berlipat ganda, tak peduli apakah kita bersedekah kepada pengemis yang benar-benar miskin atau penipu yang pura-pura miskin. Kalau ingin bersedekah, maka bersedakahlah dan anda akan memperoleh kebaikan berlipat ganda.  Dari pengemis dan pengamen yang saya pernah lihat  banyak diantara merekja bertubuh sehat tidak kekurangan sesuatu apapun kecuali itu adalah kakek atau nenek yang berusia lanjut ataupun yang yang mempunyai kekurangan fisik di dalam dirinya, yang saya heran di sini adalah Mengapa mereka yang bertubuh sehat dan masih muda tidak ada usaha atau berjuang mencari pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan hidupya.
 
      Padahal masih banyak pekerjaan yang mereka bisa lakukan walaupun upah yang diterima tidak besar tetapi setidaknya itu masih lebih baik dibandingkan mereka harus mengamen dan meminta minta pada orang lain. Selain itu pemerintah juga kurang memperhatikan rakyatnya oleh sebab itu masih banyak gelandangan, pengamen, dan pengemis di jalanan. Ada bantuan Biaya langsung Tunai atau yang di sebut BLT yang di berikan kepada orang-orang kurang mampu, kalau saya pikir-pikir  inilah yang menjadi penyebab dari kemalasan yang timbul sehingga sebagian dari mereka banyak yang enggan bekerja “ bukan sebagai pengemis atau pengamen” melainkan adalah kerja yang layak, sebagian dari mereka justru terus mengharapkan BLT tersebut. Inilah yang menyebabkan bangsa kita tidak berkembang atau maju seperti negara lain. Keadaan ini sebenarnya sangat memprihatinkan, mengapa dan bagaimana hal itu terus terjadi di Indonesia. Hal inilah yang menyebabkan bangsa kita tidak maju dan terus berkembang. Memang ekonomilah yang menjadi permasalahan selama ini.  Banyak anggapan banyak anak maka banyak rezeki, tetapi ungkapan ini menurut saya tidak sesuai dengan keadaan masyarakat kita sekarang, banyak diantara beribu orang yang terhimpit oleh faktor ekonomi tidak menyadari itu. Seharusnya mereka sadar apabila mereka belum bisa atau mampu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya jangan terlalu banyak mempunyai anak cukup 2 atau 3 saja, dan mereka seharusnya juga mengikuti program KB yang sudah di canangkan oleh pemerintah.
      Dari hal tersebut  saya pernah melihat seorang ibu membawa banyak anak dari 5-8 orang di dalam kendaraan umum, saya merasa terheran melihat ibu ini karena pakaian yang di pakai terlihat kusam dan terlihat compang camping begitu juga dengan anaknya bukan saya ingin meledek atau merasa jijik tapi saya sangat prihatin melihat keadaan ibu tadi. Dalam hati saya masih terheran, sampai pada suatu saat  ada seorang penumpang dari angkot yang saya dan bertanya mengapa ibu tidak menyuntik KB, tapi ibu itu hanya terdiam seolah tidak peduli.
       
      Karena hal inilah si ibu tadi tidak mampu untuk memenuhi beban kebutuhannya. Dan lagi salah satu anaknya ada yang hilang entah tidak tau kemana apa di culik orang atau di jadikan pengemis tidak ada yang tahu.
      
      Dan kesimpulannya saya di sini hanya mengajak masyarakat untuk terus berjuang bekerja selagi tubuh kita masih dalam keadaan  normal, kadang oarang yang kekurangan fisik saja mau berusaha bekerja. Jadi kita sebagai bangsa Indonesia hendaknya jangan bermalas malasan karena hal itulah yang membuat Indonesia tidak maju.

PEMENUHAN KEBUTUHAN HIDUP MANUSIA

      Dalam kehidupan sehari-hari, kita dapat melihat bermacam-macam kegiatan ekonomi yang dilakukan masyarakat. Kegiatan ekonomi tersebut bisa berupa kegiatan menghasilkan kegiatan barang dan jasa. Dengan semakin majunya zaman & pesatnya pembangunan ternyata membawa dampak dan warna sendiri bagi kehidupan manusia, yaitu dimana pemenuhan kebutuhannya berupa sandang & pangan yang tidak lagi sesederhana dulu. Telah terjadi pergeseran antara kebutuhan sekarang dengan kebutuhan yang lalu. Pada masa kondisi perekonomian yang marak ditandai oleh semakin berkembangnya sektor industri, terutama manufactur (pengolahan), maka kebutuhan manusiapun semakin berkembang, yaitu kebutuhan primer, sekunder, dan tersier (mewah). Komsumsi pangan dan sandang tidak lagi hanya sekedar mengenyangkan perut dan melindungi atau menutupi badan, akan tetapi telah dijadikan simbol masyarakat tertentu yang menunjukan status kekuasaan dan kekayaan.
     
      Yang menjadi masalah saat ini adalah untuk mendapatkan kebutuhan yang diinginkan itu, tidak semua orang bisa dan mampu. Hal ini tentu berhubungan dengan kesempatan dan kemampuan finansial (daya beli). Padahal kemampuan daya beli berhubungan dengan pekerjaan. Tidak semua orang yang bekerja mendapatkan imbalan yanng sama besarnya. Jadi masalah apa yang dihadapi manusia dalam memenuhi kebutuhannya?
      
      Masalah yang dihadapi manusia sebenarnya adalah bahwa kebutuhannya itu tidak terbatas, sementara alat pemuas kebutuhannya terbatas. Masalah ekonomi muncul apabila terjadi adanya ketidakseimbangan antara kebutuhan dan alat pemuas kebutuhan atau sumber-sumber ekonomi yang tersedia. Dengan keterbatasan itu, manusia berusaha untuk memenuhinya, meskipun dalam skala kecil, mungkin manusia dapat memenuhinya secara individual.  Manusia sebagai mahkluk  ekonomi harus selalu bertindak Rasional artinya selalu memperhitungkan sebab akibat (untung- rugi) dalam mengambil suatu keputusan dalam rangka memenuhi kebutuhannya sehingga tidak merugikan diri sendiri. 

      Kesimpulannya adalah Manusia hidup tidak pernah lepas dari yang namanya kebutuhan. Baik itu kebutuhan primer (pokok) maupun sekunder (tambahan). Kebutuhan primer manusia itu mencakup kebutuhan sandang (pakaian), pangan (makanan), dan papan (perumahan). Ketiga kebutuhan tersebut wajib dipenuhi oleh manusia, jika dia ingin bisa menjalani hidup ini secara normal. Caracara untuk memenuhi kebutuhan itu pun bermacam-macam, tergantung pada masing-masing individu. Sebagai seorang pelajar, hal-hal yang berkaitan dengan kebutuhan manusia semacam itu pantas kalian pahami agar wawasan kalian semakin luas. Melalui Pelajaran 6, kalian akan dilatih untuk mencermati berbagai fenomena yang terjadi di sekitar kalian yang terkait dengan kebutuhan manusia.














http://rudees.blogspot.com/2008/08/buku-kerja-siswa.html
http://www.crayonpedia.org/mw/Manusia_dan_kebutuhannya._atikah